|

Masyarakat Desa dan Musik


KawandNews.com-Berkaitan dengan masyarakat pedesaan, mereka memiliki suatu kebudayaan yang mereka kenal melalui leluhur mereka. Salah satunya adalah musik, dimana musik merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan dan rasa syukur terhadap Tuhan. Seperti halnya masyarakat di kecamatan Semin Gunung Kidul Yogyakarta yang mengenal kesenian tayub sebagai sarana untuk mengucapkan rasa syukur terhadap hasil panen. Karena masyarakat setempat telah mengingatkan hubungan dengan nama dewi pelindung padi Dewi Sri dan kekasihnya Sedono. Mereka menyelenggarakan tayub ini diiringi dengan musik gamelan, sedangkan tayub sendiri merupakan sebuah pertunjukan tari yang dimainkan oleh seorang penari wanita yang disebut ledhek. Tarian ini diiringi dengan sebuah perangkat gamelan. Gamelan dari besi itu mirip gamelan cokekan yaitu ensamble sederhana yang cukup ringan untuk siap dibawa keliling bila perlu untuk ngamen. Gamelan itu terdiri dari dua saron, satu gender, satu kendang batangan, kempul satu, dan gong. Gendhing yang dipakai untuk iringan pertama sewaktu membawa padi ke hadapan penari ledhek, mereka menyebutnya dengan istilah tandhak, adalah gendhing sri boyong, atau disebut dengan gendhing boyong saja. Ini dimaksudkan untuk mengiringi upacara boyong-nya mbok sri (dewi padi) yaitu pelindung kaum tani, agar Dewi itu tetap kembali ke tengah-tengah mereka, yaitu berupa panen yang tetap baik dan dapat mereka bawa pulang ke rumah. Setelah itu barulah gendhing sri kraton diperdengarkan untuk menghormati Dewi Sri yang telah berada di tangan mereka.

     Berbeda lagi di daerah Minahasa di Sulawesi Utara yang masyarakatnya mayoritas beragama nasrani meskipun masih mengenal sifat-sifat dinamisme atau animisme. Keadaan itu disebabkan awal kepercayaan mereka menganut dinamisme atau animisme, lalu saat Belanda muncul, agama nasrani menjadi kepercayaan masyarakat tersebut sampai sekarang. Perpaduan tersebut mengakibatkan munculnya kebudayaan dan sosial yang baru. Sampai saat ini masyarakat Minahasa melakukan upacara kematian dengan tujuan mengantar ruh si mati ketempat yang aman, ke wilayah para Datuk atau Opo dan supaya ia tidak tertarik lagi kembali ke dunia fana. Rangkaian upacara yang diselenggarakan untuk menghormati orang yang meninggal, mulai dari jam pertama diumumkan kematian itu, sampai dengan penguburan, serta upacara-upacara lain dari hari ketiga, ketujuh, dan keempatpuluh, semuanya dilangsungkan dengan menyanyikan berulang-ulang puisi-puisi yang berkaitan dengan nudub, penghiburan, dan pengharapan. Nyanyian-nyanyian itu terbagi dalam dua corak, yang mungkin akan menarik ditinjau dari segi etnomusikologi, yaitu bentuk maoling dan makantar. Yang pertama berlaras lima nada, masing-masing: re – mi – sol – la – si. Ini adalah corak nyanyian yang paling tua. Sedang yang kedua, yaitu makantar, berlaras tujuh nada. Nyanyian yang dimaksud dalam makantar adalah golib-nya modus Gregorian yaitu nyanyian yang diperkenalkan bangsa Spanyol, dalam hal ini oleh para Paderi Katolik dalam ibadah gereja. 




Posted by Unknown on 00:03. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response
Kirim Komentar Anda:
Pembaca dapat melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Kami akan menimbang setiap laporan yang masuk dan dapat memutuskan untuk tetap menayangkan atau menghapus komentar tersebut. | Advertise With Us | Info iklan |

Berlangganan Berita:

Dapatkan Breaking News
Langsung di e-mail Anda GRATIS!!



0 komentar for "Masyarakat Desa dan Musik"

Leave a reply


Berita Terbaru


Pasang Iklan disini
Pasang Iklan Teks disini Murah Meriah!!!
KawandNews.com

Pasang Iklan disini
Pasang Iklan Teks disini Murah Meriah!!!
KawandNews.com

Pasang Iklan disini
Pasang Iklan Teks disini Murah Meriah!!!
KawandNews.com

Ads by KawandNews.com

Recently Commented